Selama ini kita begitu terbius dengan propaganda “cinta” yang seakan-akan tanpa cinta kehidupan ini terasa kiamat. Cinta disini yang saya maksud adalah hanya sebatas romantisme, kasih sayang karena rupa dan harta saja. Dan saya yakin semua orang memiliki perasaan ini, makanya kadang atau seringkali mata ini menjadi sulit menenggok atau menunduk, bila bertatap muka dengan wanita yang dalam ukuran umum sulit dikatakan tidak cantik.
Kalau dalam tatap mata ini keseringan, dan tiba-tiba terjadi perubahan dalam diri kita, seperti; kalau ketemu hati kita menjadi tak tenang, mata berbinar-binar serta jantung berdetak tidak beraturan, waspadalah Anda sudah masuk dalam perangkap
Bila nasib baik sedang bersama Anda, cinta anda bisa menjadi legal formal dengan melanjutkan ke jenjang perkawinan. Menurut Ibnu Jauzi perkawinan semacam itu, yaitu perkawinan yang dilandasi cinta fisik akan membuat ikatannya semakin kuat dan erat. Saya ingin mengucapkan selamat bagi para pasangan, yang perkawinannya dibangun atas dasar ketertarikan fisik ini. Karena cinta Anda ibarat bunga yang kuncupnya semakin memekar. Kehidupan awal-awal pernikahan Anda pasti begitu indah, hemm…..tiada hari tanpa canda dan tawa, dunia seperti hanya miliknya, orang lain hanya ngontrak.
Kemudian bersama berjalannya sang waktu yang terasa begitu cepat, eh..tahu-tahu anak sudah dua. Hati-hatilah, bila perkawinan Anda hanya berdasar cinta fisik semata, karena Anda sudah memasuki tahapan bosan tapi masih di stadium awal. Biasanya klimaksnya pada perkawinan yang menginjak usia empat tahun. Dari sinilah kita bisa memahami fonomena kawin cerai dan gonta-ganti pasangan seperti kehidupan para selebritis. Menurut para ahli, daya tahan baterai cinta yang tumbuh karena cinta fisik semata itu akan habis pada tahun keempat dari perkawinan, atau bisa jadi kurang dari waktu itu.
Tentang hal ini, saya mempunyai cerita menarik yang hikmahnya sangat bermakna bagi penciptaan pondasi yang kokoh bagi bangunan rumah tangga kita. Sebelumnya saya mohon Anda menyiapkan hati dengan baik, aturlah nafas Anda, mulai sekarang coba tarik nafas Anda dalam-dalam, baru memulai membaca tulisan ini.
“Suatu ketika, seorang laki-laki mengeluh kepada Umar ibnul Khathab bahwa cintaya kepada istrinya sudah memudar. Hampir-hampir tidak ada cinta lagi. Karena itu, ia bermaksud menceraikannya. Umar kemudian mengingatkannya,”Sungguh jelek niatmu. Apakah semua rumah tangga hanya dapat terbina dengan cinta? Di mana takwamu dan janjimu kepada Allah? Di mana pula rasa malumu kepada-Nya? Bukankah kamu sebagai suami istri telah saling bercampur (sehingga tampaklah rahasiamu) dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat berat?”
Luar biasa kisah ini, minimal bagi saya sendiri cukup memberikan cubitan keras yang kadang kurang begitu terima dengan segala kondisi istri. Afwan sayangku….bila ku tak sempurna.
Jadi kenapa tadi saya bilang harus berhati-hati bagi pasangan yang perkawinannya semata-mata dibangun karena pesona rupa, seperti putih, tinggi, berkaca-mata, muda, tahi lalat di pipi dan lulusan dari kedokteran. Karena pernikahan yang digerakkan oleh faktor fisik semata walaupun ini sebagai pengikat hati yang kuat, tapi didalam perjalanannya bisa mengalami kebosanan dan kehampaan. Setelah bulan madu berakhir, mereka memasuki bulan-bulan empedu. Cintanya yang dulu kita buru menggebu-gebu, sekarang tinggal kenangan yang menusuk kalbu.
Lalu bagaimankah perkawinan yang ideal itu? Oke, kita harus memiliki idealisme walaupun kehidupan didunia ini dalam realitanya tidak ada yang ideal. Tentu kalau bisa perkawinan yang kuat selain didasari oleh cinta, yang kedua sebagaimana telah disinggung dalam nasehat Umar di atas, yaitu harus dilambari oleh komitmen. Cinta dan komitmen inilah yang membuat keluarga kita bagaikan rumah yang pondasinya terbuat dari batu padas dan dipahat diatas gunung. Namun begitu, cari yang ideal itu susah, maka kita harus realitis. Kalau memang tidak cinta, maka suburkanlah komitmen Anda. Apa bisa? Tentu bisa, karena minimal saya sudah mengalaminya.
Saya ingin bercerita lagi, sebetulnya ini rahasia bahkan sangat privacy, tapi demi pewarisan pengalaman tak apalah saya buka kehidupan pribadi saya secara blak-blakan. Begini kisahnya…..
“ Sewaktu saya sudah diambang batas kekuatan untuk menahan diri dan menjaga hati dari fitnah syahwat, akhirnya saya memberanikan diri menyampikan proposal pernikahan kepada seorang teman senior. Gayungpun bersambut, sebuah amplop berisi photo diberikan kepada saya.. Sewaktu menerimanya saya tidak berani langsung membuka, hanya saya masukan dalam tas kemudian aku pulang naik bis. Waduh…tas itu seperti berat sekali, jantung pun berdebar-debur tidak menentu. Akhirnya gak quwwat juga, diperjalanan photo itu akhirnya kubuka. Karena pikiran ini salalu bertanya, gimana ya wajahnya (hi…, dasar laki-laki pasti itu dulu yang dipikirkan).
Dan….., tampaklah seorang gadis anggun dengan jilbab besar berkibar yang berdiri di tepi lautan, tepatnya ditepi pantai Kuta Bali. Kutatap lekat photo itu seakan-akan ia begitu hidup dan sedang tersenyum padaku. Oh inikah bidadariku, sehingga bidadari yang sesunguhnya dibuat cemburu.
Karena apa, begitu membuka photonya sama sekali tidak ada ukuran fisik yang jadi pertimbangan. Wah pasti gadis ini militan dan sholehah, hanya itu pertimbangannya. Sebetulnya jujur aja pada waktu itu, kalau sekedar melihat fisiknya saja, saya tidak begitu tertarik, dan ini benar-benar ujian moral bagiku.
Akhirnya, proses ta’aruf segera dijalankan, dan pada saat itu aku benar-benar bisa melihat wajhnya walaupun hanya sekilas dan sebentar. Pokoknya persis adegan Fahri melamar Aisya di film Ayat-Ayat Cinta. Bahkan saya lebih mengharu biru lagi, sewaktu membaca surat Rum, tak kuasa aku menangis dengan sendirinya, aku ingat ayat itu meberikan motivasi dan sepertinya tahu kondisiku, ”jika kamu miskin maka Allah akan memampukan…”
Dan ternyata…, ternyata saudara…., calon istriku begitu istimewa. Untung tidak kutolak, ternyata tidak sama dengan photonya. Ia begitu memesona, terimaksih ya Allah atas anugerah ini, semoga selalu kau abadikan cinta kami sehingga tanpa akhir, dengan menjadikannya ia bidadari di sorga yang nanti khusus menemaniku saja.
Saudara, minimal diawal pernikahan saya, sewaktu proses itu terjadi dan ini yang penting, bahwa saya sekali lagi tidak menjadikan standar fisik sebagi ukuran dan pertimbangan utama menikah dengannya. Tapi kepribadiannya, yang waktu itu secara simbolik saya lihat dari jilbabnya yang menjuntai lebar. Dan tentu garansi dari temanku, lebih ku percaya bahwa ia seorang gadis yang baik hati dan berakhlak tinggi.
Intinya bahwa pernikahan saya pada awalnya dibangun atas nama komitmen. Dan ini menjawab pertanyaan diatas, bahwa pernikahan bisa terjadi tanpa diawali oleh cinta. Dan pernikahan yang dilandasi oleh niat tulus dan lurus serta komitmen ini lebih kuat bertahan daripada pernikahan yang dibangun atas nama cinta, karena pernikahan mereka hanya melegalkan pacaran yang sudah terbangun lama.
Jadi, walaupun badai menghadang, pernikahan tidak akan buyar kalau memang komitmennya benar dan tulus. Dan hal ini dibenarkan oleh R.J. Stenberg ketika mengemukan teori segi tiga cinta (bukan cinta segitiga) dalam tulisannya yang berjudul A.Triangular Theory of Love (1985), ia memasukkan Empty of Love (cinta kosong) sebagai salah satu jenis cinta yang terpenting. Empty Love biasa ditemukan pada mereka yang menikah karena perjodohan atau mereka yang telah berpuluh tahun menikah.
Mereka tidak lagi memiliki cinta dan kasih sayang, tetapi mereka mempunyai ikatan batin yang sangat kuat sehingga senantiasa rukun. Pengikat hati itu tidak lain adalah komitmen-biasanya bersumber dari keyakinan yang sangat kuat terhadap agama. Belakangan, Fehr dan Rusel (1991) menunjukkan data yang mengejutkan. Dari penelitian yang mereka lakukan, cinta yang paling baik ternyata bukan cinta romantis, yakni cinta yang dipenuhi kemesraan dan kasih sayang. Mereka senantiasa ingin berdekatan secara fisik dan selalu ada ikatan emosinal yang sangat kuat, tetapi tidak ada komitmen yang mereka pegang bersama. Bila waktu berlalu dan gairah sudah tidak menggebu-gebu, tak ada lagi yang dapat melanggengkan hubungan.
Sebab, ketika kemesraan sudah pudar, komitmen kepada nilai yang kita yakini merupakan perekat paling kuat. Komitmen moral (demi mnghormati orang tuanya) maupun komitmen terhadap pendidikan anak juga bisa menjadi perekat, tapi tidak sekuat komitmen kepada agama. Benarlah al-Hasan bin Ali r.a. ketika menjawab orang yang meminta pertimbangan kepadanya. Kata al-Hasan r.a., “Kawinkanlah dia dengan orang yang bertakwa kepada Allah. Sebab, jika laki-laki itu mencintainya, ia pasti memuliakannya; dan jika ia tidak menyenanginya, ia tidak akan berbuat zalim kepadanya.”
Nah, bagaimana dengan pernikahan Anda, semoga tetap berkah dan terus dalam suasana yang sakinah, mawaddah d warohmah. Amin!