Matahari sudah masuk keperaduannya, gelap terus merayapi semesta. Menjelang maghrib turun gerimis rintik-rintik, tapi lama-lama makin menderas seperti ribuan jarum menusuk bumi. Bersamaan dengan itu seruan Adzan bersahutan berkumandang di atas langit kota Solo, menggugah kaum beriman untuk segera menghadap Tuhan.
Sementara itu disebuah teras sebuah kost mahasiswa, nampak seorang pemuda sedang termenung, pandangan matanya hampa. Sudah seperempat menit, ia masih lekat menatap rintik hujan yang belum reda, seperti ada beban berat menggelayut di hatinya.
“Hujan…, kapankah engkau reda? sehingga kan datang pelangi penuh warna?” sebuah tanya dalam hatinya. Pemuda itu bernama Aditya Putra Sorga, seorang mahasiswa semester akhir Fakultas Pertanian dari sebuah kampus ternama di Solo.
“Hai Adit…, adzan maghrib sudah sudah sejak tadi, ayo segera sholat berjama’ah, nanti kehilangan 27 derajat lho…?” ajak teman kost Aditya yang sudah melangkah pintu keluar rumah, untuk ke Masjid terdekat..
Bersamaan dengan teguran itu, kilat menyambar membelah angkasa. Aditya tergagap dan tersadar dari lamunannya. “Ya…ya…, ini juga mau berangkat ke Masjid!” jawab Aditya sekenanya.
Sesudah Isya’, suasana kembali cerah. Langit sudah berhenti mencurahkan air untuk menyirami bumi. Langit dan bumi memang pasangan yang serasi. Langit seperti laki-laki yang bertugas mencari nafkah, dan bumi seperti perempuan yang mengandung dan melahirkan kehidupan.
Walaupun malam kembali berdandan dengan pernak-pernik gemerlap kehidupan kota, tapi bagi Aditya malam itu tetap saja terasa sepi. Ia resah setelah ia menerima sepucuk surat dari seorang gadis yang ia kenal sebulan silam. Ia masih menimang-nimang surat itu, dan membacanya berulang-ulang.
Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Akhirnya dengan berat hati dan istikharah lama dan petimbangan banyak pihak,
ku memberanikan diri untuk menulis surat ini.
Sahabat, sudah sejak lama ingin kukatakan sesuatu hal yang amat pribadi,
tapi lidah selalu kelu ketika berhadapan denganmu.
Dan lewat surat ini, ku utarakan suara hatiku.
Memang ini tabu. Tapi haruskah aku membeku dicekam ragu?
Sebelumnya maafkan diriku yang telah mengusik ketenangan hatimu.
Bahwa sejak kehadiranmu, telah menyegarkan kembali
setangkai bunga yang hampir layu.
Keluarga kami menantimu, agar taman rumah kami menjadi ceria kembali.
Dan bila engkau tidak datang segera, mungkin aku akan menempuh jalan sunyi,
seperti Rabia’ah Al Adawiyah sang sufi yang cintanya tidak mau dibagi-bagi.
Akhirnya, maafkan diriku bila telah menerobos pagar-pagar tradisimu yang kuat memegang kebenaran.
Tapi ini sebuah tantangan, sudikah engkau menerima amanah suci ini, menjaga hati dari segala fitnah dengan mengenapkan setengah agama.”
Kapankah datang padaku...
Saat seseorang membawa cintanya
Bertekat dalam satu cita...
Membangun istana cinta
Dalam taman keluarga
Wa’alaikum Salam Wr. Wb.
(Dari Putri Dewiyanti di Tawangmangu)
********
Setelah memasukkan kembali surat ke dalam laci, Aditya merebahkan tubuhnya di lantai yang hanya beralaskan karpet tipis. Nafasnya sesak naik turun terasa berat, memikirkan isi surat yang baru diterimanya. Matanya masih menerawang jauh, tepatnya keperistiwa sebulan yang lalu. Waktu itu ia bersama 4 teman mahasiswanya sedang mengadakan penelitian di sebuah perkebunan teh di Tawangmangu.
Kebetulan Aditya datang ke lokasi agak terlambat, sehingga teman-temannya sudah dapat kost duluan. “Gimana, masih ada tempat gak dikostmu?” tanya Aditya kepada Heri. ”Aduuh…, aku gak enak sama tuan rumah karena kami sudah bertiga, sebab kamrnya terbatas,” jawab Heri. “Baiklah kalau gitu, selam mendapat tempat aku nitip barang-barangku dulu ya!” “Oh.., bolehlah kalau hanya gitu, titipkan saja dikamarku. Nanti kubantu cari informasi rumah yang menerima sewa kamar untuk sementara.”
******
Tamangwangu, adalah sebuah tempat dilereng Gunung Lawu sebelah barat yang sangat indah pemandangannya. Tempat ini dijadikan parawisata utama bagi masyarakat Solo dan sekitarnya. Ada wisata pendakian gunung Lawu, ada Grojogan Sewu, bumi perkemahan serta pemandangan alamnya yang cantik.
Aditya akhirnya lewat bantuan teman-temanya, mendapatkan rumah yang besar yang diperbolehkan untuk ditempati sementara. Kebetulan rumah itu milik sebuah keluarga menengah yang rumahnya lumayan luas namun nampak asri dan rapi. Sebuah taman disamping rumah yang dihiasi bermacam-macam bunga dan sebuah kolam kecil, menjadikan rumah itu seperti sebuah vila.
Pak Sriadi pemilik rumah itu, yang juga pensiunan pegawai Perhutani. Selain bersama istrinya, ia hanya ditemani putri sulungnya yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran. Putri namanya, ia termasuk mahasiswa cerdas sehingga selesai kuliah sebelum waktunya. Kini Pak Sriadi untuk mengisi masa tuanya bekerja di sebuah perusahaan kebun teh milik sahabat lamanya.
Sore itu, selepas mengemas dan menata kamarnya, Aditya duduk santai di sebuah kursi goyang dekat taman. Ia begitu menikmati suasana alam yang sangat menyegarkan perasaan dan meneyuhkan panasnya hat,i akibat kesibukkan kerja sehari-hari. Sejauh mata memandang nampak tanaman wortel, bawang putih, bawang merah, dan lain-lainnya yang hampir tumbuh disetiap ladang dan tanah pekarangan. Sepertinya tak sejengkal tanahpun yang tersisa, semua pasti ditanami sayuran. Dan hasil sayuran Tamangmangu di jual sampai ke berbagai kota di Jateng dan Jatim, pantaslah secara umum masyarakatnya hidup makmur.
Aditya sepertinya begitu nyaman tinggal di daerah itu, namun ada yang lebih menggembirakan lagi bagi mahasisiwa seperti dirinya, karena bisa tinggal gratis. “Sudahlah nak, tinggal disini saja, kebetulan bapaknya sering pergi dan disini hanya genduk yang menemani ibu,” jelas Bu. Sriadi ketika Aditya meminta ijin untuk tinggal sementara selama tugas praktek dari kampus. Sebetulnya Aditya agak sungkan, tapi apa daya waktu sudah mendesak, besuknya ia harus memulai penelitiannya.
Hawa dingin yang merasuk kedalam tulang sungsum, membuat Aditya semakin merapatkan jaket tebalnya. Ketika Aditya bangkit dari taman dan hendak mau masuk rumah, tiba-tiba dari dalam rumah keluar seorang gadis berjubah panjang dengan jilbab hitam. Mereka sama-sama tergagap, karena hampir bertabrakkan di muka pintu. “Ehm…, Assalamu’alaikum,” sapa Aditya duluan. “Wa’alaikumsalam,” jawab gadis tersebut tanpa menoleh dan terus jalan lurus ke depan. Selintas Aditya memperhatikan kepergiannya, langkahnya pelan namun tenang, wajahnya selalu ditekuk kebawah seperti mencari sesuatu yang hilang. “Siapa ya…, pemuda itu, hemm…, mungkin itu mahasiswa yang diceritakan Ibu. Waduh ibu…, gimana terima tamu kok tidak ngajak bicara Putri,” pikirnya dalam hati.
******
“Her.., kenapa kamu tidak bilang-bilang, ternyata anak gadis Bu. Sriadi itu kelihatannya seperti anak pengajian, mungkin ia seorang akhwat. Kalau jalan nunduk dan jilbabnya besar warna gelap. Dan dirumahnya banyak stiker sebuah partai yang berlambang bulan sabit kembar. Aku jadi nggak enak nih…?, protes Aditya kepada Heri yang pagi itu sama-sama ke kebun untuk melihat proses produksi teh.
“Ye…, aku juga nggak tahu Dit…, kemarin yang ngasih info kan dari para pekerja di kebun teh Pak Didik ini. Kalau keluarga Pak. Sriadi itu rumahnya terbuka lebar untuk para mahasiswa yang mau menginap dirumahnya. Tapi memangnya kenapa, yang penting saling menjaga adab, kan tidak menjadi masalah to…!”
“Ia-ia, aku tahu, tapi aku kan jadi gimana gitu…! pa ini tidak tabu Her…?”
“Lho ada apa denganmu, memangnya kamu…..”
“Ya ndak ada apa-apa. Tapi kemarin sewaktu Laptopnya kena virus, aku dimintai tolong memperbaikinya. Akhirnya aku jadi basa-basi bincang sana-sini. Aku takut lama-lama ini semua bisa menghanyutkan idealisme yang kita pegang kuat-kuat, bahwa kita tidak akan jatuh cinta sebelum ijab kabul. Sebab kita semua tahu, bahwa pernikahan bukan sekedar melembagakan cinta yang selama ini sudah terjalin. Seperti kebanyakan pemuda saat ini, mereka pacaran dulu baru menikah kemudian.”
“Hati-hati lho Dit..., nantinya virusnya menular he.., he…,” canda Heri.
“Untuk itulah kamu harus awas mengenali perasaanmu sendiri, kalau kamu sering terbayang ketika malam tiba atau dada berdebar-debar saat berjumpa, berarti kamu sudah terserang virus merah jambu. Karena menurut Ibnu Jauzy dalam bukunya “Shaidul Khotir” tanda orang telah jatuh cinta itu adalah jantungnya berdegup kencang dan wajahnya selalu terbayang,” tambah Heri lagi.
“Belum sejauh itu lah…., tapi kalau hati ini berdebar-debar dikit memang ia, he.., he…”
Heri dan Aditya tersenyum bersama, seperti memaklumi semua karena darah muda yang mudah bergejolak.
*******
Pada suatu hari, seperti biasanya sehabis shalat dhuha Aditya duduk diruang tamu sambil membaca koran pagi. Ia begitu serius membaca berita utamanya yang membahas fenomena stress di kalangan caleg yang gagal. Saking asyiknya ia tidak menyadari ada langkah-langkah kaki mendekat. Ternyata si Putri muncul dari ruang keluarga, untuk mengantarkan secangkir teh manis dan makanan kecil ke ruang tamu. Rupanya ia melakukannya dengan enggan, sehingga langkahnya begitu lamban. “Nduk…, menghormati tamu itu merupakan budaya kita sejak lama, dan dibenarkan dalam ajaran agama. Ayo antarkan teh ini, masak ibu yang dah tua ini yang harus ngantar, sebab si Inem lagi belanja ke pasar,” tegas Bu Samino kepada Putri.
“Tapi, bu….”
“Alaah…, nggak usah tapi-tapian, kelihatannya nak Aditya belum sarapan, ayo cepat antarkan…!”
Putri pagi itu kelihatan begitu anggun dan santun, dengan jilbab biru tua dipadu jubah yang serasi warnanya, ia seperti bidadari turun ke dunia. Memang, wanita yang menutup aurat dengan jilbab justru pesonanya makin bersinar. Dan wanita sholihah yang memelihara diri dari dosa juga semakin mempesona. Sebuah kecantikan yang muncul dari dalam jiwa karena kepribadian yang mulia.
Kini dua makhluk beda jenis itu tinggal satu meter jaraknya, Aditya terus berlindung di balik korannya yang ia bentangkan lebar-lebar di mukanya. Namun, ketika Putri mau meletakkan minuman diatas meja, entah syetan apa yang menggodanya, Aditya tak kuasa mempertahankan idealismenya untuk menjaga mata. Ia dengan pelan namun pasti menurunkan korannya.
Badala…!, tentu saja dua wajah itu saling berdekatan sekitar setengah meter, adu pandangpun tak bisa dihindarkan dan sebaris senyum sama-sama terkembang. “Afwan akhy…, di minum tehnya,” sapa Putri mempersilahkan.
Aditya kembali mengangkat cepat-cepat korannya untuk menutup wajahnya, dan dari balik koran matanya terpejam. Wooow…!, rupanya Aditya sedang menikmati sensasi pandangan pertama. “Subhanallaaaaah….., saya akui ini senyum yang indah, pesonanya tidak menggoda secara fisik tapi begitu dalam terasa di dasar hati. Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya adem (ces) di jiwa,” batin Aditya dalam hati.
Seluruh ruang hatiku telah terpenuhi gelora cinta
Kucoba kendalikan mata agar tak seliar mata kuda
Kudambakan seorang pujaan yang jaraknya terentang
Siap tahu bisa kucuri hatinya meski sekejapan
Pandangan pertama kadang begitu mengesankan, sehingga tergores indah di hati meninggalkan sebuah kenangan abadi. Peristiwa yang menggetarkan jala-jala hati itu hanya berlangsung beberapa detik saja, karena Putri segera berlalu nampak pipinya kemerahan menahan malu.
“Ayo dik.., di minum tehnya, mumpung masih hangat nanti dingin lho…!” sapa Bu. Sriadi dari dalam ruang keluarga.
“Inggih Bu…, maturnuwun lho bu, tehnya benar-benar Ginastel (Legi, Panas dan Kental),” canda Aditya untuk mengurangi detak jantungnya yang berdetak tak beraturan.
“La iyo to…, siapa dulu yang ngracik. Itu Putri yang ngracik sendiri lho….”
Detak jantung Aditya justru semakin berantakan, rasanya mau meloncat keluar, begitu mendengar keterangan Bu. Sriadi barusan.
“Ya Bu…, pangapunten sampun ngrepoti.” “Oh nggak pa-pa nak, besuk biar dibuatin Putri lagi kalau nak Aditya suka.”
Aditya tak mampu berpikir lagi, karena jiwanya sedang melayang terbang diantara bintang-bintang. Tapi jujur dari dalam hati Adit yang paling dalam, ia merasakan sesuatu yang beda, indah dan mencerahkan walaupun kadang menyiksa. Sepertinya Aditya benar-benar falling in love.
*******
“Her…, aku sudah tidak kuat tinggal di kost Pak. Sriadi. Ijinkan-ku ikut kost bersamamu, toh dua pekan lagi penelitian ini sudah selesai.”
“Adi-adit, kamu itu lucu. Katanya kamu merasa nyaman tinggal disitu, apalagi hanya numpang gratis, itu pun masih dikasih bonus minuman teh tiap hari. Apa kamu tidak menyesal, lagian juga gak pantas. Dan sudah saya katakan sejak kemarin, tempatku itu sudah penuh,” jawab Heri.
“Tapi aku sudah menyerah, benteng pertahananku kini jebol diterjang tsunami cinta yang kian bersemi dihatiku. Kini aku benar-benar terinfeksi virus merah jambu. Suatu hal yang dulu kita seminarkan, bahkan aku sering membicarakan tema ini ketika mengisi taklim anak ROHIS. Dan kini aku merasakan sendiri, betapa beratnya mengatur suasana hati, agar tetap diridhoi-Nya. Sepertinya kini aku telah menduakan cinta, padahal cinta Allah dan maksiyat tidak akan pernah bisa bersatu.
Her…, ternyata kita ini akan diuji dengan perkataannya sendiri. Jadi, kata-kata adalah amanah, ketika kita mengucapkan sebuah petuah maka kita harus bersiap-siap mendapat ujian, untuk membuktikan kebenaran ucapan kita. Sungguh berat amanah seorang penceramah, sanggupkah aku istiqomah Her…?
Sepanjang hidupku inilah ujian terberat bagiku. Aku pernah dilempar badai dan di hempaskan gelombang kehidupan, tapi tak sedahsyat tikaman belati cinta. Aku tak berdaya, emosiku begitu terlibat penuh, dan energi jiwaku tersedot habis,” curhat Aditya kepada Heri pada suatu malam, ketika ia menginap dikostnya.
“Nah.., benar kan apa kataku. Jangankan kamu Dit…, banyak lho orang hebat akhirnya rusak citranya gara-gara tergoda wanita. Dan akhirnya hanya pernyesalan mendalam yang didapatkan, karir yang cemerlang menjadi rusak seketika karena sebuah “sandal jepit…”, eh…, maksudku skandal wanita. Karena memang pria itu didesain tidak kuat menghadapi keindahan wanita. Seperti dalam Qur’an disebutkan bahwa, “akan kuberi kecenderungan yang kuat terhadap wanita…..”
Oleh karena itu, untuk antisipasinya Al-Qur’an juga memberi larangan, “Janganlah kamu mendekati zina…,” mendekati saja tidak boleh apalagi kalau sampai terlibat lebih jauh. Ini adalah hukum alam, siapapun tanpa terkecuali yang coba-coba berdekat-dekat dengan wanita pasti terhanyut dalam pesonanya. Bayangkan suaranya saja aurat, apalagi kalau duduk berdekatan hanya berdua, hmm…, siapa tahan?
Istighfar.., istighfar Dit…, kamu masih ingat kan materi mahabatullah? Ingat yang berhak mendominasi hati kita itu hanya Allah, bukan harta atau wanita?” tanggap Heri.
“Tapi, Her…, sebagai manusia kita butuh teman sejati. Hidup ini tidak akan pernah mencapai maknanya tanpa kehadiran seorang teman sejati yang bisa diajak berbagi dan mau mengerti. Teman sejati adalah orang-orang yang kita cintai dan ia juga mencintai kita. Dan bukankah itu semua wajar, yang penting semua rasa cinta merupakan suatu refleksi cinta kepada Allah SWT,” bela Aditya menanggapi pernyataan Heri.
“Kalau begitu Dit…, tidaklah mengapa engkau segera nikah dini, asal pemikiran dan sikapmu dewasa. Kini saatnya kamu ambil keputusan, agar kamu tidak terjerumus dalam jebakan cinta yang tidak bertepi. Karena cinta adalah soal rasa, sedangkan akal dan mata menjadi buta kalau sudah terbakar api cinta,” tambah Heri lagi.
“Her.., itulah masalahnya. Kau tahu kan kuliah saja belum kelar. Keluargaku dikampung juga mengharapkan aku menjadi “orang” dulu, sebelum berkeluarga. Apalagi siapa diri ini, bila dibandingkan si Putri. Ia seorang dokter, dan dari keluarga agak mapan. Sedangkan aku, ya…, kamu tahu sendirilah kondisiku. Aku hanya orang kampung, bisa kuliah saja sudah luar biasa. Karena dikampungku masyarakatnya rata-rata kehidupan ekonominya susah, sehingga tak banyak yang bisa kuliah.”
“Jangan gak PD gitu dong…, semua kan bisa di nego. Lagian kamu harus bangga sebagai putra daerah, apalagi Pacitan selama ini menghasilkan banyak orang besar yang menjadi tokoh nasional. Ada yang jadi menteri seperti Pak. Haryono Suyono, Bu Sulasikin, belum lagi yang menjadi pengusaha besar dan pejabat daerah baik bupati maupun walikota. Bahkan Presiden kita SBY juga berasal dari Pacitan.”
“Benar Her.., aku pernah mendengar nasehat Pak. SBY ketika ke Pacitan, “Kalian adalah ilalang yang tumbuh di bebatuan cadas dan tanah yang keras” artinya jadikan kehidupan yang sulit, untuk menempa diri sehingga bisa menggapai prestasi,” tambah Aditya.
“Tapi ngomomg-ngomong bener nich..., kamu tidak ke-GR-an saja. Bisa jadi, sebagai orang Jawa sikap Putri dan keluarganya itu hal biasa, karena penghormatan kepada seorang tamu,” tanya Heri penuh selidik
“Apa begitu ya…, tapi ketika hati ini bergetar, pasti disana ada hati yang bergetar pula, sebab kita tidak bisa bertepuk tangan dengan satu tangan,” jawab Aditya membenarkan perasaannya.
“Apa buktinya, kalau ia memang suka,” tanya Heri penasaran.
“Ini bukan asumsi tapi pakta, pertama, dari sorot matanya yang kadang curi pandang dan seberkas senyum yang ia lepaskan, aku yakin ia merasakan getar-getar cinta. Sebab mata adalah utusan hati, yang tidak mungkin berbohong. Dan senyum adalah ungkapan jiwa, yang tidak mungkin berdusta. Itupun masih ditambah dengan SMS tengah malam, ni.., SMS-nya masih kusimpan,” Ya Akhi…, malam telah larut, saatnya kita meminta hajat, karena Allah turun ke bumi mengabulkan semua do’a hambanya. Bangunlah, mari kita temui sang kekasih sejati, ilahi rabbi.”
“Lalu kamu membalas,” tanya Heri
“Ya, tapi hanya to the point saja kok.”
“Ya ampun Adit…, jangan sepelekan soal ini, bukan isi SMS-nya yang salah, tapi waktu dan caranya dan mungkin juga niatnya itu yang bermasalah.”
“Her kamu tahu tidak, dan ini fakta ekdua, yang semakin menguatkan kesimpulanku bahwa ia memang memiliki perhatian lebih padaku. Ketika aku sakit batuk, mungkin ia kasihan atau risi mendengar batukku, ia memberikan obat untukku. “Akh…, ini ada obat batuk, insyaallah manjur, diminum ya…, sehari 3 kali. Nanti kalau belum sembuh juga, tolong diperiksakan ke Puskesmas,” ujarnya sambil meletakkan obat itu di kamar tamu. Dan ajaib, begitu aku meminumnya batukku langsung pergi. Belum lagi kalau kau pas turun ke Solo, ia selalu nitip majalah. Waduuh.., pusing aku Her….”
********
Waktu terus berjalan begitu cepatnya, tak terasa penelitian Aditya di kebun teh bersama temannya hampir selesai. Tapi dari waktu singkat itu kelihatannya benih-benih cinta semakin bersemi tumbuh subur di lubuk hati. Sebetulnya Aditya sudah sekuat tenaga mengatur hati dan menjaga diri, agar tidak bertemu dengan sang gadis tersebut. Namun, selalu ada saja pertemuan yang diluar rencana. Begitu natural, tanpa rekayasa.
Seperti dalam sebuah taklim di masjid dekat rumah, nampak Putri begitu terhanyut dengan penyampain ceramah Aditya. Ia sangat perhatian, dan kadang ia curi pandang menatap Aditya begitu dalam, tapi buru-buru ia menunduk kembali, tapi oleh Putri hal itu diulang lagi sampai beberapa kali. Dan tanpa Putri sadari ternyata ada orang lain yang memperhatikan sikapnya sedari tadi.
Aditya memang piawai mengolah kata, kalimatnya jelas, alurnya rapi dan dibumbui humor serta kutipan tokoh lokal dan asing yang kemudian ditutup dengan kesimpulan dari Al-Qur’an dan Hadits. Walaupun bukan lulusan UIN, Aditya betul-betul sangat menguasai materi, maklum ia mantan ketua LDK (Lembaga Dakwah Kampus).
“Mbak, besuk Ahad depan kita undang lagi mas Aditya ya, ceramahnya benar-benar mencerahkan, temanya moderat tapi selalu dilandasi ayat-ayat. Cocoklah bagi kita-kita ini, yang masih awam agama,” ungkap Yayuk yang merupakan teman dekat Putri di kampungnya.
“Waduh…, gimana ya…, bisa nggak ya…, beliau acaranya padat. Memang Yayuk suka dengan ceramahnya, jangan-jangan nanti kamu hanya suka dengan penampilannn…..”
“Alaaah ngaku saja, yang suka itu siapa, tadi aku sempat memperhatikan mbak, kadang senyum-senyum sendiri, hayo ada apa…, hati-hati lho mbak….,” goda Yayuk tak kalah sengitnya.
“Hus…, pamaly tau…, masa wanita naksir duluan.”
“Berarti kalau ditaksir duluan, mbak welcome-welcome saja,” desak Yayuk kembali.
Tapi Putri tidak menanggapinya, ia hanya diam. Dan diamnya wanita berarti tanda ia suka.
*****
Sejak pertemuan dengan Aditya, Putri memang lebih ceria. Hari-harinya dilalui penuh dengan semangat hidup yang berkobar. Setiap ia melihat taman seakan bunga-bunga ikut bergembira dengannya. Namun kadang ia kembali gelisah, sejak ayahnya menanyakan kesiapannya untuk dinikahkan dengan Didik, sang konglomerat muda pemilik perkebunan teh.
“Putri…, setiap orang tua pasti ingin anaknya bahagia. Ayahmu ini akan menjadi tenang bila engkau didampingi laki-laki yang bisa memberimu perlindungan lahir dan batin. Lihat saja nak Didik itu, masih muda tapi warisannya begitu banyak, tak habis dimakan tujuh turunan. Nduk…, kemarin baru saja aku ketemu nak Didik, ia kembali menanti jawabanmu. Ini kesempatan lho…, kamu tahu kan…, banyak gadis berebut cari simpatinya,” ungkap Pak. Sriadi kepada Putri.
“Yah…, Putri ini bukan tak ingin membahagiakan Ayah, tapi Putri juga punya hak menentukan kebahagiannya sendiri, dengan pilihan hati Putri. Bukan masalah sedikit atau banyak harta penyebab bahagia, tapi kecocokkan hatilah sumber bahagia itu. Maaf ya Yaah…, Didik walau memiliki segalanya, tapi Putri rasa ia kurang berkepribadian. Lihat saja gaya hidupnya yang suka pesta dan hura-hura. Apakah Ayah rela Putri hidup bersamanya,” jawab Putri hati-hati agar ayahnya tidak tersinggung.
*********
Pada suatu pagi, Heri tergopoh-gopoh menghampiri Aditya, ia begitu serius seperti membawa berita kematian saja. “Dit..., aku dengar dari para pekerja kebun teh, si Putri mau dijodohkan dengan Pak. Didik pemilik kebon teh ini, karena untuk melanjutkan persahabatan antara ayah mereka berdua.”
“Masya Allah, kok aku baru dengar. Kalau begitu aku jelas kalah saingan.”
“Dit, kamu jangan gampang menyerah gitu. Sebelum janur kuning melengkung kamu harus berjuang, karena harapan itu masih ada. ”
“Aduh Her.., bukannya aku tidak percaya diri, tapi aku harus tahu diri dong! Biarlah kalau memang Putri bahagia dengannya, sebab cinta itu tidak harus memiliki. Mencintai dan ingin memiliki adalah hal yang beda. Orang yang mencintai tidak harus memilikinya. Cinta yang dewasa bukan karena ingin merengkuh fisiknya, tapi jiwanya. Biarlah ia kunanti di pintu surga kelak, ku akan setia menunggunya. Toh, kalau kita masuk surga apapun yang kita minta pasti kesampaian, nah akau akan minta bidadari yang seperti Putri,“ papar Aditya seperti menghibur hatinya yang kecewa.
“Wah, wah…, kamu itu jangan sentimentil gitu. Makanya, kan sudah sering aku ingatkan sejak awal, hati-hati bergaul dengan wanita. Marilah sama-sama menguliti tingkah kita selama ini, renungkanlah perkatan seorang ulama, “ Jangan datangi wanita walaupun dengan alasan mengajar Al-Qur’an”. Dan menurut seorang Ustadz “ SMS kepada akhwat lain dan sebaliknya, adalah hukumnya KHOLWAH bila bunyi SMS itu hanya diketahui dia sendiri, dan tidak betul-betul penting” . Nah…lho! kamu harus introsfeksi diri, Dit?” Heri kembali meluruskan sikap Aditya selama ini.
“Kamu sih tidak merasakan sendiri, bagaimana beban batin yang kualami ini. Ya…, bukan perpisahan yang kusesali, tapi kenapa kau memilihkan rumah itu untuk tempat kostku?, coba kalau aku tidak pernah bertemu dengannya, pasti tidak seperti ini kejadiannya.”
“Sudahlah tidak usah beretorika, kalau kamu benar-benar kesatria, segera pinang dia dengan hamdallah.”tegas Heri.
“Tapi Her…, kalau Putri dihadapkan dua pilihan antara aku dan Didik yang kaya itu, kira-kira Putri pilih siapa ya?”
“Adit…, Adit…, kamu itu belum bertarung kok sudah kalah mental gitu, kamu harus brrrrsemangat 45, maju terus pantang mundur, maju tak gentar mempertahankan sang gadis pujaan. Menurutku, sebetulnya kamu punya nilai plus di mata si Putri, karena kamu seorang pegiat sosial dan dakwah. Dan Putri yang kamu yakini juga seorang akhwat, tentu akan mencari pendamping yang sepadan.”
“ Yang ikhwan gitu maksudmu?” tanya aditya.
“Ya benar, maksudnya memilih jodoh yang juga memiliki karakter Islami dan aktif dalam komonitas perbaikan ummat. Atau minimal orangnya hanif, yang cirinya rajin ke Masjid dan mudah menerima kebenaran. Sebab, seorang aktifis ketika menikah hendaknya tujuannya demi kepentingan ummat, jadi tidak hanya mengikuti selera pribadi. Masalah cantik atau tidak, penghasilannya besar atau kecil, itu bukan bahan pokok untuk mengambil keputusan. Dan kamu pun juga harus begitu, jangan memakai jalur swasta. Mentang-mentang suka kemudian ambil jalan sendiri tanpa melibatkan murabbi.”
“Bukankan jodoh itu urusan pribadi Her.., artinya kita boleh berkreativitas sendiri agar pilihan kita mantap di hati, sebab perkawinan tanpa cinta itu akan menjadi hambar. Kemudian misalnya setelah menikah nanti ada permasalahan, memang orang lain mau bertanggung jawab, hayooo…,” bantah Aditya .
“Ya memang benar pernikahan itu soal pribadi, tapi bagi mereka yang mewakafkan dirinya dalam sebuah komunitas perbaikan, ia harus mau ditata demi kepentingan ummat.”
“Apa berarti itu kita tidak bisa memilih?” tanya Aditya.
“Tentu boleh, karena kemantapan hati adalah salah satu unsur pembentuk keharmonisan keluarga seperti yang kamu katakan tadi. Tidak ada yang berhak melarang-larang! Karena menikah adalah hak manusia yang paling asasi. Seorang bebas memilih siapa saja untuk menjadi belahan jiwanya, bahkan setelah nikah pun boleh nambah lagi sampai tiga, asal bisa adil dan mensejahterakan.
Orang lain tidak boleh menghalang-halanginya, meskipun itu pembinamu. Akan tetapi, seorang muslim menikah tentu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sumpahnya, yaitu 2 kalimat syahadat. Maka menikah bagi seorang muslim harus dipagari oleh aturan dan tata cara yang harus dipenuhi apalagi bagi aktifis dakwah. Menikah baginya adalah memadukan antara kepentingan dakwah dengan selera pribadinya. Jika perlu, kepentingan dakwah lebih diutamakan daripada selera pribadi.” jelas Heri lagi panjang lebar.
“Berarti melanggar hak asasi dong?” bantah Aditya seakan tidak terima.
“Memang, jalan dakwah ternyata bukan tempat yang tepat bagi mereka yang hanya berkeinginan mendahulukan kepentingan pribadinya.”
“Lalu sebaiknya, sikapku harus bagaimana?”
“Sebaiknya kau minta saran dari pembinamu, kalau memang engkau ada niat untuk mengakhiri masa lajangmu. Dan kamu harus siap mental, jika belum diijinkan menikah dengan pilihan hatimu, karena ini sudah konsekwensi hidup berjamaah.”
“Tapi, Her…, kalau menurut kamu, apakah Bang Subekhi mau merestui bila aku ingin mengenapkan agamaku dengan Putri.”
“Saya yakin beliau sangat arif, sebab tidak ada duka didunia ini yang paling lara kecuali terpisahnya dua hati yang saling mencinta. Apalagi perpisahan itu karena dipaksa. Sebab cinta sejati tidak akan pernah mati, selamanya rasa cinta itu akan tetap ada. Pernah kan kamu dengar kisah Umar bin Abdul Aziz yang mencintai seorang gadis, tapi karena sesuatu hal cinta itu masih tertahan dalam hati.
Ketika kesempatan itu tiba, sang gadis menemuinya untuk mengantarkan isi hatinya. Namun ketika itu momentumnya tidak tepat, Umar sedang jatuh cinta pada pekerjaannya mengurus amanah ummat menjadi khalifah. Kemudian dengan halus ia menolak tawaran sang gadis. Sang gadis bertanya,”Wahai Umar apakah engkau sudah tak ada cinta lagi.” Umar kemudian menjawab, ”Tidak, justru cinta itu kini semakin membara daripada yang dulu.”
“Ya, aku pernah baca dari bukunya Anis Matta. Tapi seandainya cinta ini tidak kesampaian, bisakah aku seidealis seperti halnya Umar? Karena jalan keluar bagi yang terkena panah asmara hanya satu, bersatu jiwa dan raga dalam ikatan yang suci. Bila tidak, sakit dan pedihnya tiada terkira. Oleh karena itu, nabi menyejajarkan para pecinta yang sabar karena kuncup cintanya layu sebelum berkembang, sama seperti orang yang mati syahid,” tambah Aditya lagi.
Ingin sekali kurobek hati ini dengan sebilah belati
Agar bisa kumasukkan kau dan kudekap sepenuh hati
Agar kau tak kan pernah berpaling ke lain hati
Sampai kiamat dan hari kebangkitan nanti
********
Didik adalah pewaris tunggal perkebunan teh Pak. Tirto yang juga sahabat ayahnya Putri, yaitu Pak Sriadi. Mereka telah bertekat untuk menguatkan hubungan persaudaraan yang sudah lama terjalin dengan saling berbesanan.
“Bu…, apa kamu sudah ngomong sama Putri, kalau nak Didik sudah menunggu sejak lama. Bahkan si Tirto sudah menanyakan terus kapan hari pernikahannya,” sapa Pak. Sriadi kepada istrinya.
“Pak…, apakah pernikahan ini sudah harga mati. Apa tidak bisa dinego kembali. “Apa…? kamu tahu kan bu…, sekolah Putri di kedokteran itu itu tidak sedikit, padahal bapak ini hanya seorang PNS. Ketika mau masuk saja harus menyiapkan dana 100 juta. Dan untuk itu semua, kita sering dibantu keluarga Pak. Tirto, lalu dengan apa kita membalas jasa mereka? Apakah pantas ketika anaknya melamar anak kita, kemudian kita menolaknya? Ingat ya, bu…, kita masih punya hutang budi kepadanya.”
“Pak…, aku ini seorang ibu yang telah mengandung Putri selama 9 bulan, jadi aku bisa merasakan getar hatinya. Aku tahu Putri tidak menyukai nak Didik. Dan bagi seorang ibu, tentu tidak pernah mengharap anaknya tidak bahagia, walapaun Didik bermandikan uang dan berlian. Tapi bapak tahu kan, Didik itu anak urakan dan suka main perempuan. Dimana harga diri kita Pak?”
Ternyata dialog tersebut didengar Putri, yang kebetulan sedang ambil air wudhu untuk sholat malam. Hatinya seperti direjam-rejam saja mendengar itu semua. Ia sekarang sering murung dan mengurung dalam kamarnya saja. Apalagi setelah Aditya telah kembali ke kampusnya. Ia seperti kehilangan cahaya, wajahnya yang berbalut sinar pesona seorang wanita jelita, kini muram, karena duka yang menikamnya. Dan rindunya yang berdentam-dentam juga semakin menyiksa raganya. Memang diusia seperti dirinya, ia sudah pantas membangun mahligai rumah tangga.
Kuhitung hari-hariku sambil menanti
Kedatangan seorang saudara sejati
Bagi mereka yang mendengarnya
Denting-denting kesedihan sungguh terasa
Namun, di hari-hari berawan begini
Adakah harapan rembulan menampakkan diri
*********
“Nduk…, aku belum bisa membujuk ayahmu. Ia belum memiliki kekuatan hati untuk menolak pinangan nak Didik. Aku tahu dilema hatimu. Apakah pemuda kemarin telah mencuri hatimu, kalaulah tidak ada permasalahan semacam ini, tentu aku lebih rela melepaskan engkau dengannya. Ia begitu simpatik, pendiam pembawaanya, halus bicaranya, ramah orangnya dan taat ibadahnya. Ia pemuda yang begitu sempurna. Sayang…, ia telah pulang, tapi kamu nyatat nomer HP-nya to?”
Putri nampak tersipu-sipu, tapi matanya berbinar-binar penuh harapan. “Bu…, kalau memang kita berhutang, tolong berapapun nominalnya harus kita kembalikan, agar keluarga Tirto tidak memandang rendah kita. Apakah ibu rela, bila saya hanya dijadikan tebusan atas jasa yang diberikan keluarga Tirto selama ini. Dimana harga diri kita Bu? Harusnya ayah menyadari hal ini? “ tegas Putri berapi-api.
“Sudah nak, tapi lewat Didik uang itu dikembalikan lagi. Tetapi ayahmu masih mencatat kok, berapa besarnya utang keluarga kita kepada mereka. Namun masalahnya bukan itu saja, ayah Didik dan ayahmu adalah sahabat sejak lama, dan mereka ingin menyambung persahabatan itu dengan menyambungkan darah keturunan dengan menikahkan Didik denganmu, nduk?”
“Tapi, Bu.., kita akan tetap baik kepada keluarga mereka. Kita tidak memutus silaturahmi, kita masih akan saling anjangsana. Tapi soal cinta tidak bisa dipaksa-paksa dan diatur-atur, walau seribu tahun kita beradaptasi, cinta suci itu tidak akan tumbuh, karena cinta adalah soal hati bukan masalah materi,” tambah Putri lagi.
Tiba-tiba, mereka berdua dikejutkan kehadiran Pak. Sriadi yang masuk kedalam kamar Putri. Setelah duduk dan mengatur nafasnya Pak. Sriadi angkat bicara.
“Ya…, kita memang bukan keluarga yang begitu kaya, tapi kita tidak bisa dilecehkan. Pak. Tirto tidak mau menerima penjelasanku. Ia mengeluarkan bapak dari perusahaan kebun teh ini, yang sebetulnya aku sendiri yang membesarkannya. Emh..bisa apa si Didik itu, ia hanya main perempuan dan poya-poya kerjaannya. Dan lebih itu, aku tidak rela anak tercantikku jatuh dalam dekapan seorang brandalan. Bapak sudah ambil keputusan, tanah warisan samping rumah itu akan kujual, sudah ada yang menawar 1 M. Sebagian kita kembalikan ke Tirto, sisanya akan kuberikan untukmu nak.., jadikan modal untuk keluargamu kelak. Kamu kan bisa buka praktek sendiri…”
Akhirnya Putri dan ibunya memeluk erat Pak. Sriadi dengan berurai air mata. Di mata Putri ayahnya ternyata seorang pahlawan keluarga, yang tak rela mengadaikan kehormatannya dirinya dengan dunia.
“Allahu Akbar! ya Allah…., aku bebas…, terimakasih Ya Allah…!” teriak Putri dalam hati lega. Namun Putri kembali merenung, orang yang telah merebut simpatinya kini telah pergi.
Kunikmati derita cintaku padamu, duhai pujaan!
Tak kan ku berpaling darimu, walau sekerjapan
Kalaulah orang menasihatiku
Palingkan dirimu dari cintanya, sejenak
Maka kan kujawab ia dengan kalimat, tidak
*******
“Yuk…, pantas nggak bila kita menyampaikan hasrat hati duluan. Apakah kamu punya referensi tentang hal ini,” tanya Putri kepada Yayuk pada suatu hari.
“Hemm…, benar kan…? Kamu kemarin ternyata telah jatuh hati pada pemuda itu. Aduh aku kalah duluan nich…! Begini ya Putri, bukankah kamu tahu Muhammad waktu itu ditaksir duluan oleh Ibunda Khatijah yang menaruh hati padanya, karena ketinggian akhlak yang dimiliki Muhammad. Menurutmu tabu nggak, ini?
Nggak kan…? Put…, wanita tetap terhormat walau ia lebih dulu menyatakan minat, asal didiringi niat yang kuat membangun membangun tim kehidupan yang mengemban terbentuknya peradaban mulia. Lagian kalau tidak cepat-cepat, jangan-jangan didahului orang, pa, kamu nanti tak menyesal,” ujar Yayuk seperti meggurui. Maklum sejak diajak taklim Putri, Yayuk memang lebih cepat perubahannya.
Dan lagi-lagi Putri hanya bisa diam seribu bahasa, dalam hatinya ia teus memikirkan pernyataan Yayuk barusan.
Malam semakin larut, Putri masih memegang pena erat-erat. Ada beban berat yang menindih tangannya hingga ia kesulitan menggoreskan pena sebagai penyambung hasrat hatinya. Sudah beberapa lembar kertas dibuang ke tempat sampah, karena setiap menulis selalu macet dijalan. “Ya rabbi, kalaulah memang ia jodohku yang membawaku ke dalam kehidupan yang lebik baik, maka mudahkanlah proses ini. Bila Engkau belum menghendaki ia menjadi pendampingku, maka siapkan hatiku untuk menerima kenyatan itu.”
Setelah meyakinkan hatinya akhirnya Putri menuliskan sebuah surat untuk Adiyta Putra Surga. Bukan surat cinta seperti kebanyakan orang yang bombatis dan puitis, tapi sebuah ungkapan hati secara terus terang dan sederhana.
********
“Lagi ngelamun nich…, ayo mikirin siapa, pasti gadis dilereng Lawu itu, ya?” sapa Heri menyadarkan Aditya dari lamunan panjangnya. Tak disangka sudah satu jam Aditya terlena dalam kenangan indah selama sebulan di Tawangmangu.
“Masuk kamar kok tidak salam, bikin kaget saja, ada pa Her kamu ke sini?”
“Oh…, ndak pa-pa, hanya ingin melihat kondisimu, aku perhatikan sepulang dari gunung Lawu kamu sering termenung, jangan-jangan kamu kesurupan, he..he…, gimana dah ada solusinya?”
“Aku sudah memutuskannya. Besuk antarkan aku menemui keluarganya, dengan tekat bulat aku harus mengambil kesempatan ini, apapun yang terjadi.”
“Luar biasa, terus terang aku iri denganmu. Kau kuliah dapat beasiswa, hampir jabatan strategis kampus pernah kamu pegang. Dan kini mau melamar seorang dokter, kau harus banyak bersyukur atas ujian yang indah ini Dit?”
“Wah.., jangan gitu Her…?, semua orang punya kelebihan dan bagiku engkau juga memiliki banyak keistimewaan. Aku tahu engkau selalu konsisten tilawah 1 juz perhari, sesuatu hal yang masih sulit kulakukan. Engkau juga rajin shalat tahajud dan hapalanmu banyak. Sedangkan aku, juz amma’ saja belum hafal-hafal. Tapi, ingat lho Her.., besuk jangan sampai lupa, temani aku ke Tawangmangu.”
“Oke!” jawab Heri sekaligus berpamitan pulang.
*******
Didik berang begitu mendapati kenyataan lamarannya di tolak, harga dirinya seperti dicampakkan ke karanjang sampah. Pak Tirto dengan sabar mencoba meredam kemarahan Didik. “Sudahlah Dik…, masih banyak gadis yang dengan mudah kamu dapatkan, kamu bisa memilih model apa saja, sudahlah jangan kau pikirkan si Putri,” saran Pak. Tirto kepada Didik.
Rupanya Didik tetap tidak terima, ia tersinggung berat dan kecewa luar biasa karena dalam hatinya ia juga cinta terhadap Putri. “Kurang ajaarrr…! ini adalah penghinaan. Keluarga Sriadi itu, telah melempar kotoran di muka keluarga besar kita. Padahal aku ini sudah menyampaikan ke kolegaku bahwa Putri itu adalah calon pendampingku. Ia sering kubangga-banggakan di depan rekanan bisnisku. Bahkan seluruh karyawan kebun teh ini mengetahui bahwa Putri itu adalah calon istriku. Tapi sekarang, ia justru dilamar pemuda ingusan itu. Aduh…, ayah dimana mukaku ini kan kutaruh?”
Karena stress berat, Didik menjadi kalap. Tanpa sepengetahuan ayahnya, ia telah menyiapkan preman bayaran untuk menghabisi lelaki yang merebut hati Putri.
“He.., kamu Katni dan Gatot, tugas kalian adalah melenyapkan pemuda sok alim itu. Amati dia, besuk orangnya akan melamar Putri. Kamu tunggu diluar. Cirinya gampang, orangnya tinggi kurus dan ada jenggot tipis didagunya,” tegas Didik memberi instruksi kepada preman bayarannya.
“Beres boos…., tugas siap dilaksanakan,” jawab kedua preman tersebut sambil menerima beberapa lembar uang ratusan ribu, sebagai uang muka.
Jarum pendek pada jam dinding mengarah ke angka 3. Hari masih sore, Aditya barusan keluar rumah Putri. Aditya pulang dengan pendar-pendar bahagia yang nampak di wajahnya.
“Alhamdulillah Her…, aku tidak mengira ternyata keluarga besar Putri mau menerimaku apa adanya. Mereka tidak keberatan dengan segala kondisiku yang pas-pasan. ”
”Ya itulah yang namanya jodoh, Dit…, yang penting kamu jangan lupa diri. Menikah itu bukan sekedar bagaimana menikmati kesenangan, tapi yang penting adalah tanggung jawabnya, apalagi sebagai laki-laki. Tadi kamu ingat kan dengan apa yang dikatakan Pak Sriadi bahwa yang penting itu bukan penampilan, tapi yang utama adalah kepribadiaanya,” jawab Heri.
“Aku tadi sempat grogi, jangan-jangan itu sebuah sindiran belaka, maksukdnya kepribadiannya itu ya mobil pribadi, rumah pribadi, dllnya. Baiklah Her…, aku akan berusaha sepenuh hati untuk menjadi lelaki sejati.” Aditya kemudian menyenandungkan nasyid “Teman Sejati”.
“Selama ini, ku mencari-cari…
Teman sejati…,
Tuk menemani perjuangan suci….”
Setelah perjalanan sekitar sepuluh menit, tanpa sepengetahuan Aditya dan Heri ada sebuah mobil yang membuntutinya. Ketika Aditya menuruni sebuah jalan dekat jurang, tiba-tiba sebuah mobil Kijang melaju kencang dan menyerempet sepeda motor Aditya. Dan …”Allahu Akbaaarrr……….,” mereka takbir berbarengan. Heri beruntung masih bisa meloncat kesamping. Tapi Aditya tidak bisa menguasai diri, ia terjun bersama sepedanya masuk jurang. Sedangkan sopir mobil Kijang yang ternyata suruhan Didik, telah diamankan masyarakat sekitar.
Di sebuah rumah sakit Muwardi Jebres Solo.
Aditya mengalami luka parah, ia masih belum sadarkan diri. Sedangkan Heri rupanya hanya luka ringan, karena dengan gerak reflek ia masih sempat melompat ketika sepeda motor Aditya masuk ke jurang. Keluarga besar Aditya masih dalam perjalanan, maklum rumahnya jauh di Pacitan sana. Heri menunggu dengan harap dan cemas di luar kamar. Sedangkan Putri ditemani Yayuk menyusul ke rumah sakit. Ketika jam jenguk tiba, ia diberi kesempatan masuk.
Begitu di dalam ruang ICU ia terperanjat, seperti tidak yakin dengan pemandangan yang ia lihat. Aditya kepalanya gegar otak. Tubuhnya dibalut perban dimana-mana.
“Assalamu a’laikum ya akhy…., semoga Allah menyembuhkanmu,” sapa Putri pelan.
Aditya seperti mulai kembali pulih kesadarannya. Walaupun tidak begitu jelas siapa yang datang, tapi ia yakin pemilik suara itu adalah Putri. Kemudian ia dengan terbata-bata menyampaikan sesuatu.
“Ya ukhty Putri…., kamu percaya kan bahwa jodoh, rezeki dan kematian adalah takdir ilahi. Aditya berhenti sejenak. Ia masih menahan rasa sakit di seluruh bagian tubuhnya. Geriginya saling beradu, sesekali gigi atasnya menggigit bibir bawah untuk menahan ngilu.
Tak terasa tetes demi tetes air mata mengalir dari pipi Putri, “Akhi…, jangan bicara dulu istirahat saja,” hibur Putri yang duduk agak mendekat pembaringan Aditya.
“Putri…, aku ingin menyampaikan sesuatu yang penting…….. “.
Disaat kritis seperti itu, Aditya masih sempat-sempatnya memikirkan kebahagiaan orang lain, seandainya ia menemui akhir kehidupannya.
Detik demi detik, menit pun berlalu. Aditya kondisinya semakin gawat. Nafasnya semakin melemah. Heri sebagai sahabat dekatnya akhirnya diperbolehkan masuk. Heri memegang tangan Aditya yang sudah mulai mendingin, mata Heri berkaca-kaca. ”Bersabar dan bertahan ya…, Akhi …, kamu pasti kuat.”
“Heri, kau adalah sahabatku yang selama ini banyak membantu. Kaulah yang mencarikan aku komunitas kebaikan, sehingga aku mengenal kebenaran. Jazakallah untuk semua itu.”
Kemudian Aditya menatap Putri dengan mata sayu, dan berkata, ”Ukhty Putri…, jangan kau ragukan agama Akh Heri, ia mungkin lebih pantas mendampingimu. Aku harap kalian berdua bisa bersatu meneruskan cinta suci karena ilahi, untuk membentuk peradaban mulia dan generasi robbani. Aku mohon engkau ridha menerima Heri sebagai peng…, peng…, gannnn..ti…ku….., laa..ila ha..illallah……
Aditya muntah darah, dan sekaligus menghembuskan nafas terakhirnya. Bibirnya tersenyum, ia pergi dengan tenang. Ia pergi ke alam baka, dalam rangka menyucikan diri, mudah-mudahan ruhnya di bungkus kain kafan wangi dari surgawi.”
Heri dan Putri serentak mengucapkan,” inalillahi wainailahi roji’uun.”
Heri masih mendekap erat sahabatnya, yang kini sudah tidak bernyawa. Sedangkan Putri yang diliputi kesedihan yang tak terlukiskan keluar kamar ICU, dan dengan langkah gontai ia pulang kembali ke Tawangmangu. Sepanjang perjalanan pandangannya terasa gelap, hatinya seperti di sayat - sayat sembilu. Kini separuh nafasnya telah tiada, akankah ia akan menempuh jalan sunyi seperti Rabiah Al-Adawiyah?
Masih tersimpan jelas SMS terakhir Aditya sebelum datang untuk meminangnya. Black Bery terbarunya kembali ia buka, ”Ukhty…, siapa jodoh kita itu tergantung bagaimana kualitas diri kita juga. Kalau adinda seperti Fatimah pasti akan mendapatkan pemuda seperti Ali. Tapi harap ukhty maklumi, siapalah diri ini, aku masih dalam perjalanan menuju kesempurnaan, masih banyak yang harus dibenahi. Aku mohon ukhty bisa mengerti, mari tuluskan hati kita agar pernikahan kita nanti diridhoi-Nya. Aditya.”
Dari relung hati yang paling dalam, Putri meyesali sikapnya selama ini. ”Astaghfirullah…, jangan-jangan semua ujian ini karena tingkah kami yang salah mengatur hati. Kami alpa telah menuhankan cinta atas nama fitrah manusia. Kami telah berani bermain api asmara dan kini kami harus terbakar karenanya. Ya…, rabbiii…, ampunilah kami semua. Ini salahku, bukan salah Aditya. Ampuni dia disana ya Allah…!” do’a Putri dalam hati lirih dengan berurai air mata. Namun tetap saja, rasa bersalah itu itu tak mau pergi juga.
*******
“He…, ayo bangun Dit…, kita baru sampai terminal Karanganyar. Kita masih ganti kendaraan sekali lagi untuk sampai di Desa Gondosuli Tawangmangu,” sentak Heri, sambil mengguncang-guncangkan bahu Aditya yang masih tertidur pulas. Aditya seperti kelelahan setelah semalam ia kesulitan memejamkan matanya. Makanya, begitu naik bus ia sudah tak kuasa menahan kantuknya.
Aditya tidak segera beranjak dari kursi bus Setya Rini, ia masih bersungut-sungut mengingat-ingat mimpinya barusan. Wajahnya memucat seperti ketakutan, kemudian ia menarik nafas panjang sambil istighfar. Kini ia kembali lega, ternyata semua itu hanya mimpi saja. Perjalanan satu setengah jam itu, telah membawanya kedalam petualangan mimpi yang membuatnya ngeri sekaligus menyadarkan dirinya untuk instrofeksi diri.
“Astaghfirullah…! Ya Allah..!, aku berjanji bahwa aku akan mencintai Putri dalam rangka untuk taat kepada-Mu, bukan karena aksesoris luarnya, seperti karena ia cantik, putih, pakai kaca mata, tahi lalat di pipi, tinggi dan seorang dokter. Bukan karena itu, bahkan aku sekarang tidak peduli dengan semua itu, yang penting ia wanita yang bisa diajak menuju kebenaran. Berkahi kami ya…, rabbiii…,” do’a dan penyesalan Aditya dalam hati.
“Ayo cepetan turun Dit…, nanti terlalu lama keluarga Putri menanti,” tegas Heri.
Setelah turun dari bus, Aditya menatap Heri lama. Kemudian tersenyum kecil, dan dalam hatinya berkata, ”Syukur…, tadi tidak jadi naik sepeda motor.”
********
1 bulan kemudian.
Pesta perkawinan yang sederhana namun kidmat telah usai. Aditya akhirnya kesampaian harapannya untuk membina rumah tangga bersama Putri Dewiyanti. Aditya tak kuasa menahan haru ketika mendapatkan ucapan selamat dari teman-temannya, terutama Heri.
“Her.., ku do’akan kamu segera menyusul, semoga engkau segera mendapat pendamping yang sholihah. Jangan terlalu lama di cekam keraguan, menikahlah segera kasihan yang antri menunggu.”
“Amin…!, semoga engkau juga makin bahagia Aditya,” balas Heri sambil berangkulan erat sekali. Sebelum berpamitan pulang Heri menyampaikan kado istimewa, sebuah kumpulan tulisan Ust. Anis Matta yang berjudul ”Serial Cinta”. Kemudian Heri membisikkan sesuatu di telinga Aditya, ”Ssst…, jangan terlalu lama bulan madunya, ingat skripsimu belum selesai, awas nanti ke DO lho…!”
“Ha…ha…haa…,” mereka tertawa bersama tanpa peduli dilihat sebagian undangan yang belum pulang.
********
Malam pengantin pun tiba, malam yang sering diimpikan kebanyakan pemuda bujangan. Malam paling istimewa dari seluruh malam, menurut pengalaman banyak orang yang telah mengakhiri masa lajangnya. Namun bagi mujahid seperti Kholid bin Walid, malam pertama bukanlah malam istimewa, ia mengatakan, ”semalam berada dimedan pertempuran itu lebih aku sukai, daripada tinggal bersama pengantin wanita jelita pada malam pertama.”
Hawa dingin khas Tawangmangu semakin membekukan perasaan. Tapi tidak bagi dua pasangan yang sedang berbahagia itu. Walau udara diluar begitu menggigit tulang, namun jiwa mereka hangat dengan gelora asmara membara.
“Aku harus memanggilmu apa ya…?” sapa Aditya memecah kebekuan komunikasi.
“Emmh…, terserah mau dipanggil apa, toh sepenuhnya aku sekarang sudah jadi milikmu. Yuk…, mari kita ketaman sebelah, mumpung lagi bulan purnama,” ajak Putri kepada Aditya sambil bergelayut manja di pundaknya.
Aditya begitu sumringah, ia baru merasakan suasana seperti ini, kebahagiaan yang tiada terperi dan tidak dapat dibeli. Siapa yang tak bahagia, bila kini ia duduk berdampingan di kursi taman dengan wanita jelita penuh pesona di bawah terangnya bulan purnama.
Di luar rumah suasana terang bagaikan siang, dan bintang-bintang berkelipan diangkasa. Gemerisik angin yang ditingkahi suara binatang malam, seperti paduan orkestra di tengah hutan. Menambah suasana kian syahdu dan romantis saja. Memang rumah Putri di Deda Gondosuli terletak di pegunungan. Dari rumahnya terbentang pemandangan alam yang melebar luas sampai batas cakrawala.
“Dinda, apakah engkau percaya bahwa membina sebuah rumah tangga tidak cukup kalau hanya bermodalkan cinta?” Aditya mengawali dialognya dengan pertanyaan yang berat, sepertinya Aditya menguji kedewasaan wawasan Putri.
Putri masih terdiam. Untungnya, Putri sebelumnya telah dipahamkan oleh Mbak Wati. Mbak Wati adalah pembimbingnya dalam mendalami agama selama ini. Putri kemudian merenungi kembali nasehat Mbak Wati seminggu yang lalu, “Putri…, dalam kenyataannya, pengikat kuat ikatan rumah tangga itu bukan hanya cinta, tapi yang utama adalah komitmen. Lihatlah para orang kita rata-rata mereka menikah bukan dengan orang yang menjadi pilihan hatinya, bahkan banyak yang karena terpaksa. Tapi toh, perkawinan mereka langgeng dan bahagia. Dan sebaliknya, perkawinan yang hanya dilandasi cinta biasanya usianya hanya seumur jagung.
Maksimal setelah 4 tahun, keluarga itu akan mengalami kejenuhan, dan bila tidak ada kedewasaan dalam bersikap bisa berujung pada perceraian. Lihatlah kehidupan sebagian para artis yang gonta-ganti pasangan. Padahal orang luar yang melihat, mereka adalah pasangan yang harmonis, mereka cantik, tampan dan kaya sekaligus orang terkenal, tapi toh akhirnya keluarganya jadi berantakan.
Sekarang luruskan niatmu, jadikan pernikahan ini sebagai amal jihadmu dengan membangun generasi robbani dan mendampingi dengan setia seorang mujahid dakwah. Cintailah calon suamimu karena Allah semata. Insya Allah dari rekam jejaknya selama ini yang kuperoleh dari pembinanya, ia adalah ikhwan yang baik agamanya. Dan ini adalah modal dasar dalam berumah-tangga, bukankah Rosul sudah berpesan nikahilah pasanganmu karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung. Kamu tahu tidak, banyak gadis Afghan itu lebih memilih seorang Mujahid walau tubuhnya tidak lagi utuh.”
“Lho…, kok diam. Apakah terlalu sulit untuk memberi jawab, ataukah karena masih teringat Pak. Didik?” tegur Aditya menggoda.
“Ah…, Kanda jangan begitu, masihkan engkau ragu dengan diriku? Sekarang mari kita buka lembaran baru. Kedepan tugas sudah menantang, ummat ini masih butuh tangan-tangan da’i yang tulus dan cerdas untuk membina generasi pejuang. Generasi tangguh yang tidak goyah oleh dunia, tidak mundur oleh kilatan pedang dan tidak takluk oleh senyum perempuan.
Masih ada PR besar dalam pembinaan ummat ini, lihatlah ada banyak aktifis yang lahir dari rahim dakwah ternyata sekarang diduga menjadi pragmatis begitu dekat dengan lingkar kekuasaan yang menawarkan gula-gula dunia. Kasihan ummat ini, bila para penyerunya masih bermain-main dengan syubhat dan syahwat,” papar Putri menegaskan komitmen pernikahannya. Memang pernyataannya Putri nampak kritis, maklum ia adalah mantan aktifis gerakan mahasiswa kanan yang vokal menyuarakan perubahan.
“Wah…, luar biasa Dinda, aku jadi malu. Kenapa aku menjadi terlalu egois hanya memikirkan kesenangan diri sendiri saja, padahal diluar sana banyak orang menanti kiprah kita. Baiklah mujahidahku, mari kita kuatkan tekat untuk memberikan seluruh hidup kita untuk sepenuhnya berjuang di jalan dakwah ini. Karena tidak ada perjuangan yang berhasil kalau dijalankan setengah hati,” tegas Aditya penuh semangat.
“Allahu Akbar!, perubahan harus dituntaskan !” teriak mereka berdua lantang seperti sedang mendemo para koruptor.
*****
Kini dua hati itu telah menyatu karena ikatan iman dan perjuangan, sebuah ikatan yang paling kuat didunia ini. Karena hakikat cinta adalah sebuah kata kerja, yaitu saling memberi yang terbaik bagi pasangannya. Dan kuat lemahnya dorongan memberi itu tegantung juga pada kualitas keimanannya. Bila imannya kuat, maka dorongan untuk memberikan yang terbaik bagi pasangannya juga tumbuh subur, pun sebaliknya.
Setelah komunikasi mereka sudah makin cair, Aditya memberanikan diri memandang lekat dan dekat wajah Putri, tanpa malu-malu seperti dulu-dulu. Putri matanya memejam seperti sedang menikmati, bahwa dirinya kini sedang dikagumi. Memang, wanita kebanyakan suka di puja dan di manja. Setelah sesaat, Putri kembali membuka kelopak matanya yang lentik, ia dengan senyum tertahan, gantian memandang dan menyelami setiap lekuk wajah Aditya yang tampan. Dua wajah itu makin mendekat, nafas mereka semakin memburu dan akhirnya sebuah kecupan ringan mendarat dengan mulus, di ubun-ubun masing-masing.
Hawa dingin yang membalut malam, membuat mereka semakin dalam tenggelam di dasar lautan asmara. Putri menyandarkan kepalanya ke dada Aditya yang bidang, tangan mereka saling meremas seakan tidak mau dilepaskan. Kemudian kedua mata mereka memandang di kejauhan, nampak pemandangan kota Solo yang berseri. Lampu-lampu jalan di sepanjang Jl. Slamet Riyadi nampak berderet rapi. Begitu pula dengan Bengawan Solo yang melegenda itu, jelas terlihat seperti lingkaran ular raksasa.
Mereka menjadi teringat segala aktivitas kampus dan kegiatan dakwah yang padat di kota Solo. Sepertinya kota Solo begitu bersejarah bagi mereka berdua, karena di kota tersebut mereka menjemput hidayah iman dan merasakan indahnya kehidupan bersama Islam.
“Dinda, tolong kanda dibuatkan teh manis, ya? “ pinta Aditya manja.
“Ah…. kanda, sedari tadi kan sudah aku siapkan diatas meja kamar. Baiklah kan kuambilkan sebentar, tunggu ya!”
“Makasih sayangku,” jawab Aditya
Putri kembali ke taman dengan membawa nampan beirisi secangkir teh dan makanan ringan.
“Lho, kok gak manis giniiii….,” gerutu Aditya.
“Masa sih…, coba aku rasakan, srrppp …, manis gini kok dibilang gak manis,” bela Putri.
“Tadi gak manis kok, coba sekarang tak minumnya lagi, srrpp….., hmm sekarang memang beda, rasanya benar-benar mantap. Setelah habis dinda minum, air teh ini menjadi maniiiis… sekali. Bibir dinda mungkin ada gulanya, coba tak periksanya.”
“Ih…, kanda nakal,” teriak Putri kegirangan.
Mereka berdua telah terpagut oleh cinta. Kedua insan yang menyatukan bahagia dan nikmat itu, terus bercanda menghayati indahnya kesenangan yang telah halal. Sungguh indah cinta suci mereka, sampai cahaya bulan purnama pun padam karenanya.
(Taman Losari Indah 09, untuk Heri dan Adith teruskan perjuangan, jangan pernah futur dan kendur…!)